Happy Cute Box Frog " :)) ~~"WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI " WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI" WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI"~~ :))"

Sunday, 19 October 2014

C S R

KASUS : 
Tembakau adalah salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Dari segi botani, kebanyakan tanaman tembakau yang dibudidayakan sekarang ini adalah Nicotiana tabacum L. Nama Nicotiana diberikan oleh ahli botani Linnaeus pada tahun 1753, dengan mengambil sebagian nama duta besar berkebangsaan Perancis Jean Nicot de Villamain, beliau banyak berjasa dalam penyebaran tanaman tembakau di Eropa. Sedang kata tabacum atau tobacco tidak jelas aslinya tetapi kemungkinan berasal dan kata tobago yaitu sejenis pipa bercabang yang kala itu digunakan orang-orang Indian dengan menghisap asap melalui hidung atau mungkin pula berasal dari nama suatu pulau di India Barat, yaitu Tobago.

Tembakau dan industri yang menyertainya (industri rokok) telah berkembang pesat di Indonesia. Perusahaan rokok telah menjelma menjadi perusahaan raksasa di Indonesia. Dengan dana yang melimpah, perusahaan rokok di Indonesia melakukan kegiatan bisnis dan banyak kegiatan sosial yang dibalut dengan program Corporarte Social Responsilities (CSR).  Tulisan ini akan membahas aktivitas CSR perusahaan rokok di Indonesia, apakah telah mencapai sasaran yaitu sebagai salah satu wujud sustainable development, atau hanya sekedar strategi marketing saja.
Program CSR PT.HM Sampoerna
PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan sosial yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah dengan PT. HM Sampoerna, PT. Djarum Indonesia menawarkan banyak program yang dilakukan untuk masyarakat, antara lain Djarum Bakti Pendidikan, Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti Olahraga.  Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga adalah pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi atau siswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis).
Di mata sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah corporate social responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan filantropi. CSR ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain itu, terdapat juga pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang memandang CSR sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas sosial.
Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan rokok menyentuh sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu dipublikasikan secara dramatis, sehingga iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga mampu menyentuh solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM Sampoerna dengan jargon ”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan sumbangsih mereka untuk mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan hal senada. Kendati sebagian orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk Indonesia” dikelola oleh Sampoerna Foundation yang secara manajerial terpisah dan independen dari PT HM Sampoerna, namun semua orang mafhum bahwa publikasi itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat Bulu Tangkis Djarum.
Ø  Menetukan Arah CSR Perusahaan Rokok
Upaya-upaya yang dilakukan oleh  industri rokok dalam menyiasati pembatasan iklan, di antaranya adalah melalui program CSR. Bagaimana industri rokok dilihat dari sudut pandang CSR? Secara umum dapat dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk menyatakan bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial. Ada setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan pendapat tersebut. Pertama, tidak satupun  indeks socially responsible investment (SRI) yang menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio investasinya.
Kedua, penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR. Yang paling terkenal adalah penolakan puluhan pakar terhadap ketelibatan BAT dan Philip Morris dalam forum Ethical Corporation Asia di Hong Kong (14-15 Oktober 2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut terdaftar sebagai sponsor emas dan juga mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai pembicara. Namun, sebuah petisi yang ditandatangani 86 pakar CSR dan etika bisnis, membuat keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh panitia. Ketiga, berbagai survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan sepakat bahwa industri rokok adalah yang paling rendah kinerja CSR-nya. Artinya, telah terjadi kesepakatan global para pemangku kepentingan bahwa industri rokok memang tidak bisa dipandang bertanggung jawab.
Mengapa kesepakatan global ini muncul di kalangan penggiat CSR? Karena beberapa tahun belakangan telah tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda.
CSR jauh lebih luas dari sekedar pemberian sponsor, karena sebetulnya CSR adalah manajemen dampak. Timbal balik ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR terutama berkaitan dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan sekadar berapa dan kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan CSR dalam jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri. Demikian juga dengan uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa kinerja CSR dan kinerja financial perusahaan memang berkorelasi positif, namun uang (keuntungan) hanyalah dampak ikutan dari menjalankan CSR.
Kalau sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah perusahaan yang bertangung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius melindungi bukan perokok.
Dalam berbagai literatur CSR dinyatakan, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan  mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam  kegiatan amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.
Begitu juga dengan sinyal bahwa CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti tidak baik, maka masyarakat akan melihat budi pekerti korporat juga tidak baik. Pencitraan sebagai perusahaan dengan budi pekerti yang baik merupakan sebuah metode untuk mentransfer rival costs yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menghadapi pesaing pada industri sejenis. Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang mencitrakan dirinya sebagai perusahaan rokok yang menjalankan CSR melalui kepedulian pada pendidikan atau PT. Djarum Indonesia melalui program CSR penghijauan dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan rival cost dengan perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk pasar yang oligopoli maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal positif sebagai perusahaan yang berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai perusahaan akan mengalami peningkatan atau dengan kata lain tujuan financial perusahaan akan tercapai.
Terlepas dari batas yang tipis antara sumbangsih sosial dan strategi pemasaran, sumbangsih mereka, jelas-jelas diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun yang perlu dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat atau belum. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai meminimumkan dampak negatif ini dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula hanya dengan produk rokoknya sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi kesehatan, produk rokok selain mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya juga menginformasikan kandungan dan batas toleransi racun dan tata cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif bagi kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga banyak dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif untuk menyosialisasikan larangan merokok di ruang publik dan membangun sarana-sarana smoking area. Dari sisi penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat berhasil. Namun dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok dengan santun, hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memprakarsainya.
Dalam soal supply chain, industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki mata rantai keterlibatan pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: apa yang dilakukan oleh industri  rokok untuk meningkatkan kehidupan merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang relatif adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku industri ini?
Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif perusahaan untuk terlibat dalam upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial. Alasan keman
usiaan pada mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun reputasi, causerelated marketing, dan bahkan secara diam-diam menghitung dampak dan peluang politik hadir dalam tindakan filantropis ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian besar perusahaa menempatkan diri sebagai diri sebagai perusahaan dermawan, untuk kemudian melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.
Sebagai sebuah tindakan, CSR tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara, tampak bahwa kinerja CSR lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif dengan memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CSR lebih sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti sampai di sini. Dan nyaris pula, mereka  melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi perusahaannya.
Ø  Langkah Strategis Pelaksanaan CSR Perusahaan Rokok
Agar CSR menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk sebagai upaya minimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif, disarankan beberapa langkah manajerial yang sebaiknya diambil.
Pertama, melakukan review atas portfolio kegiatan dan program yang sudah berlangsung. Dalam melakukan review dilakukan perusahaan harus melihat apakah kegiatan yang selama ini dilakukan termasuk (i) communal obligation, sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah keterlibatan CSR dalam program pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh kepada seluruh karyawan, pelanggan, dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan merangkai program company relationship jangka panjang. Dalam kategori ini CSR, juga dijadikan sebagai momentum untuk merangkai stakeholder engagement baik secara internal (khususnya employee dan supply chain) maupun secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving, memberikan bantuan sesuai dengan core competence bisnis dan konteks kebutuhan lokal.
Dalam konteks ini, yang kegiatan CSR yang disarankan bagi perusahaan rokok adalah memperhatikan kesejahteraan para pelaku bisnis rokok yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Peningkatan taraf hidup mereka yang terlibat di dalamnya. Dan menerapkan suatu sistem pembagian keuntungan yang relatif adil.
Kedua, melakukan penilaian atas resistensi—baik yang potensial maupun yang sudah eksis—dari inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik; (ii) upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam memberikan bantuan; (iii) upaya-upaya dan proses-proses perbaikan kinerja pemberian bantuan; (iv) perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat “saringan” ini diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial dan ekonomi baru: terjadi keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat sosial dalam kegiatan filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni.
Ketiga, mencari opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah operasi bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun beragam para pemangku kepentingan yang memiliki competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak dijalankan. Dalam konteks ini disarankan bagi perusahaan rokok bekerja sama dengan perusahaan rokok lain untuk membangun unit-unti smoking area dan mengkampanyekan hanya boleh merokok pada smoking area tersebut. Hal ini sebagai konsekuansi bahwa rokok sebenarnya mengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Sebab hal ini sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat yang bukan perokok.
Keempat, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan mengevaluasi hasil. Temuan perolehan hal-hal unik yang mungkin berbeda sama sekali dengan langkah teks manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan inovasi program tiada henti. Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan di muka, bahwa CSR juga membawa misi penyebaran nilai-nilai. Nyaris semua perusahaan besar dibangun atas nilai-nilai universal pendirinya dan berbagai program CSR juga sedikit banyak mencerminkan keinginan penyebaran nilai-nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis ini. Nilai-nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada kebersihan dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta sejumlah cita-cita yang berhubungan dengan nilai-nilai citizenship, juga merupakan item yang harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CSR.
Secara keseluruhan langkah-langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka upaya manajemen untuk meminimumkan dampak negatif rokok dan memaksimalkan dampak positif perusahaan rokok sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di sinilah titik temu makna tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

TEORI : 
Dalam undang-undang telah dikatakan bahwa perusahaan yang berstatus perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam UU PT, disebutkan pada  Ayat 1 pasal 74 berbunyi ”Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Hal ini merupakan salah satu dari representasi dari kegiatan CSR sebuah perusahaan. Kalimat dalam undang-undang tersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak dari definisi CSR.
Sampai saat ini belum disepakati tentang definisi CSR. Dengan tidak adanya kesepakatan ilmiah tentang CSR, maka konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak dapat menginterpretasikan CSR sesuai kepentingan dan selera mereka. Banyak pendapat tentang definisi CSR. Namun secara umum dapat dimengerti bahwa CSR adalah kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan kata kunci pada pengertian CSR. Kalau bukan ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan negara di mana perusahaan itu berada, maka CSR tersebut merupakan sekadar kosmetik untuk perbaikan citra. Jadi, dengan menggunakan pembangunan berkelanjutan sebagai konsep kunci, ada perbedaan yang tegas antara CSR dan greenwash alias pengelabuan citra. CSR mengandung lima komponen penting, yaitu : ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme. Komponen ekonomi, sosial dan lingkungan menekankan bahwa CSR dengan pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipisahkan.
Ø  CSR dalam Perspektif Perusahaan
Bagi perusahaan, CSR dapat dipandang menjadi dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu apakah CSR itu bersifat sukarela atau wajib. Beberapa ahli menyatakan CSR seharusnya didasarkan pada kesukarelaan dengan pendirian Ketua Panitia Khusus  UU. Dengan demikian kegiatan CSR perusahaan harus diregulasi. Namun,sampai saat ini banyak perusahaan yang memandang CSR bukan sebagai kewajiban, tetapi suatu kesukarelaan.
Pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen CSR tinggi maupun banyak ahli yang sependapat adalah bahwa sukarela bukan berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi. Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu semakin tinggi.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumber daya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Perdebatan banyak terjadi di seputar CSR yang seharusnya berlandaskan kerelaan, tetapi menjadi kewajiban. Tetapi karena sudah menjadi UU, yang bisa dilakukan adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang akan menjadi strategi baru dalam menjalankan perusahaannya. CSR telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada intinya adalah bagaimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.
Tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Dengan hal ini dapat disimpulkan begitu luasnya makna CSR. Dapat digambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etik, dan tanggung jawab filantropis berada di puncak piramida.
Tujuan dan Manfaat Program Corporate Social Responsibility
Dalam melakukan CSR, tentunya perusahaan memiliki tujuan diantaranya adalah :
1.    Alasan Sosial.
     Perusahaan melakukan program CSR untuk memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Sebagai pihak luar yang beroperasi pada wilayah orang lain perusahaan harus memperhatikan masyarakat sekitarnya. Perusahaan harus ikut serta menjaga kesejahteraan ekonomi masyarakat dan juga menjaga lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan.
2.    Alasan Ekonomi.
     Motif perusahaan dalam melakukan CSR tetap berujung pada keuntungan. Perusahaan melakukan program CSR untuk menarik simpati masyarakat dengan membangun image positif bagi perusahaan yang tujaan akhirnya tetap pada peningkatan profit.
3.    Alasa Hukum.
            Perusahaan melakukan program CSR hanya karena adanya peraturan pemerintah. CSR dilakukan perusahaan karena ada tuntutan yang jika tidak dilakukan akan dikenai sanksi atau denda dan bukan karena kesadaraan perusahan untuk ikut serta menjaga lingkungan. Akibatnya banyak perusahaan yang melakukan CSR sekedar ikut-ikutan atau untuk menghindari sanksi dari pemerintah. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang PT No. 40 pasal 74 yang isinya mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang terkait terhadap SDA dan yang menghasilkan limbah.
    
  • Dengan melaksanakan program CSR banyak sekali manfaat yang akan diperoleh perusahaan, terlepas dari biaya yang dikeluarkan, antara lain ::
Ø  Meningkatkan citra perusahaan dimata stakeholder,Membina hubungan/interaksi yang positif dengan komunitas lokal, pemerintah, dan kelompok-kelompok lainnya
Ø  Mendorong peningkatan reputasi dalam pengoperasian perusahaan dengan etika yang baik Menunjukkan komitmen perusahaan, sehingga tercipta kepercayaan dan respek dari pihak terkait
Ø  Membangun pengertian bersama dan kesetiakawanan antara dunia usaha dengan masyarakat
Ø  Mempermudah akses masuk ke pasar atau pelanggan
Ø  Meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja, sehingga semangat loyalitas terhadap perusahaan akan berkembang
Ø  Mengurangi resiko perusahaan yang mungkin dapat terjadi
Ø  Meningkatkan keberlanjutan usaha secara konsiste
ANALISIS : 
   CSR merupakan bagian terpenting dalam suatu perusahaan, karena CSR merupakan suatu tanggung jawab sosial sebuah perusahaan dan sebagai tujuan pemabangunan perusahaan. dalam kasus diatas CSR bagi perusahaan rokok sangatlah penting karena dalam perusahaan rokok ini perusahaan dapat membantu siswa yang berprestasi dalam kondisi perekonomian yang sangat minim. 
REFERNSI : 
syukronali.files.wordpress.com/2010/05/program-csr-pt-sampoerna.docx