Happy Cute Box Frog " :)) ~~"WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI " WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI" WILLKOMMEN ASTRIED TUNGGA DEWI"~~ :))"

Tuesday, 28 May 2013

PEYIMPANGAN DEMOKRASI ORDE LAMA ORDE BARU DAN REFORMASI





Orde Baru dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Studi Kasus Peristiwa Tanjung Priok
Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli memandang kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Cara apapun tidak menjadi persoalan, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini tersirat diterimanya cara-cara kekerasan dan represi (coercion, violence) yang tidak etis dalam mempertahankan kekuasaan. John Locke di Inggris, Montesqiueu di Prancis, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat juga beranggapan bahwa penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-menerus. Karenanya, kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.
Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut atau totaliter, termasuk dalam pandangan Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara republik. Ada banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan etika mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral (ulama, cendekiawan). Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan lagi “Aku [baca: raja] adalah hukum”. Dari sisi struktur dan sistem, pemikir-pemikir politik lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of power) antara lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power), seperti pada ajaran trias politica.
Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut, terpusat pada segelintir elite (oligarkhi) yang berlaku zalim, dan tidak mengenal partisipasi publik dalam kehidupan politik, baik yang konvensional (seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik, membentuk dan bergabung dalam suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-konvensional (seperti unjuk rasa). Padahal partisipasi ini mengingatkan pada pentingnya jaminan akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (civil rights), seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki demokrasi, sedang kaki yang satunya lagi adalah parlementarisme, yang terkait dengan keharusan adanya parlemen, partai politik, dan pemilihan umum.
Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan, terutama menyangkut dua hal: keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut kemampuan atau pengetahuan seorang pengambil kebijakan. Pada tingkat ini biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan publik, tetapi untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat besarnya kekuatan godaan dan tarikan kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat terkenal: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”
Sayangnya, menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan pengawasan masyarakat dan parlemen atas kinerja pemerintah, serta penggunaan hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas kekuasaan. Karena itu, moralitas dan akhlak agama mempunyai peran signifikan, sebagaimana dilihat para filosof da ahli hikmah di atas.















PEYIMPANGAN DEMOKRASI ORDE LAMA

  Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
  Peranan parlemen yang lemah

  Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah

  Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah

 Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit
Akhirnya dari demokrasi terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakan G 30 S / PKI pada tanggal 30 September 1965. Demokrasi terpimpin berakhir karena kegagalan presiden Soekarno dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada yaitu PKI dan militer yang sama-sama berpengaruh. PKI ingin membentuk angkatan kelima sedangkan militer tidak menyetujuinya. Akhir dari demokrasi terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Pada era orde lama (1955-1961), situasi negara Indonesia diwarnai oleh berbagai macam kemelut ditngkat elit pemerintahan sendiri. Situasi kacau (chaos) dan persaingan diantara elit politik dan militer akhirnya memuncak pada peristiwa pembenuhan 6 jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian diikuti dengan dengan krisi politik dan kekacauan sosial. Pada massa ini persoalan hak asasi manusia tidak memperoleh perhatian berarti, bahkan cenderung semakin jauh dari harapan.


















PEYIMPANGAN DEMOKRASI REFORMASI

Refleksi 15 Tahun Reformasi


Deviasi Partai Politik
Kegagalan perjalanan 15 tahun reformasi dalam mewujudkan perubahan yang nyata dan substansial bagi rakyat sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari deviasi partai politik. Dalam konteks ini, partai politik lah yang sesungguhnya sebagai entitas politik yang bertanggungjawab atas terhambatnya perubahan rakyat, mengingat partai politik sejatinya merupakan instrument politik yang memiliki posisi dan peran penting dalam demokrasi. Partai politik adalah pilar dan sekaligus basis demokrasi. Demokrasi yang berlangsung baik sangat bergantung pada sejauhmana sistem kepartaian berfungsi dengan baik di dalamnya.

Partai-partai politik faktanya tidak menunjukkan peran-peran yang dibutuhkan oleh rakyat. Partai politik selama ini cenderung banyak berkutat dengan urusan pertarungan politik kekuasaan dan jabatan, daripada memerankan diri sebagai instrumen agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat.  Fungs-fungsi sebagai alat penekan atau pengawasan pemerintah melalui anggotanya di parlemen juga tidak maksimal. Sementara itu, para pemimpin pemerintahan yang berasal dari partai politik gagal di dalam membangun politik yang otentik yakni politik yang memajukan dan membahagiakan rakyat.
Kegagalan partai politik untuk berperan dengan baik ini terjadi sebagai akibat dari  berbagai deviasi atau penyimpangan fungsi dan tujuan partai. Hal itu banyak ditunjukkan oleh praktek politik elit dan anggota partai politik khususnya yang menduduki jabatan-jabatan politis baik di dalam partai atau struktur kenegaraan. Partai politik pada kenyatannya cenderung menjadi alat politik kekuasaan semata, instrument eksploitasi berbagai sumber daya.
Ketidaan ideologi yang jelas adalah faktor terbesar mengapa terjadi deviasi fungsi dan peran partai-partai politik di Indonesia. Ideologi adalan seperangkat nilai yang penting yang berfungsi menjadi basis dari tujuan dan perjuangan politik suatu partai. Problem ideologi ini dalam realitasnya membuat partai politik menjadi rentan terhadap penetrasi berbagai kepentingan privat yang menungganginya. Tujuan dan perjuangan politiknya menjadi tidak jelas. Tidak ada kerangka kerja programatik untuk ditawarkan kepada rakyat.
Ketidakjelasan kaderisasi dan proses rekruitmen kandidat calon wakil rakyat yang lebih memperhatikan modal ekonomi, bukan karena pertimbangan kapasitas, komitmen atas demokrasi, hak asasi, dan perjuangan mewujudkan agenda kerakyatan.
Lebih lanjut, deviasi fungsi-fungsi partai politik ini melahirkan berbagai persoalan. Dalam politik misalnya, politik berubah hanya menjadi arena terbatas bagi elit politik dan bersamaan dengan itu meminggirkan rakyat. Politik dengan demikian hanya menjadi arena bagi yang memiliki modal ekonomi. Politik yang sejatinya arena mewujudkan kehidupan dan kebaikan bersama menjadi terdistorsi. Politik menjadi arena perebutan kekuasaan dan jabatan di DPR atau kabinet. Rakyat tidak lagi dianggap penting kecuali sebagai target perolehan suara untuk kepentingan memenangi pemilu atau Pilkada.
Dalam kebijakan implikasinya bisa dilihat dengan munculnya regulasi-regulasi yang bermasalah. Banyak UU yang dihasilkan parlemen menabrak Konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi. Fakta ini bisa dilihat dari banyaknya UU yang diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap inkonstitusional.
Kemunculan berbagai regulasi politik yang bermasalah ini tidak dilepaskan dari masuknya logika politik transaksional dalam pembahasan regulasi di parlemen. UU sebagai hasilnya sarat dengan kepentingan. Persoalan ini misalnya juga dinyalir oleh Mahfud MD, mantan Ketua MK, bahwa selain persoalan profesionalisme dari para pembuat undang-undang, menurutnya juga ada dugaan berbagai kepentingan dengan tukar-menukar kepentingan politik dalam pembentukan UU.  Padahal sebagai representasi rakyat, mereka harus mengaggregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat dalam kebijakan, melakukan kontrol dan pengawasan terhadap jalanya pemerintahan.
Banyak UU selain yang secara normative tidak hanya inkonstitusional, melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi secara praktek akan menjadi ancaman bagi masyarakat. Beberapa regulasi di sektor keamanan bermasalah, misalnya UU Penanganan Konflik Sosial, RUU Kamnas, RUU Ormas, dan lain-lain.
Sementara itu, banyak kasus korupsi dan suap yang melibatkan orang-orang partai politik juga adalah cerminan dari deviasi partai politik. Persoalan ini kenyataannya tidak hanya terjadi di pusat, melainkan juga banyak di daerah. Banyak orang-orang partai politik khususnya yang menduduki jabatan publik diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi dan suap yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana beberapa di antaranya ada yang divonis kurungan penjara.